Pendidikan
Menurut al-Qur’an
al-Qur’an telah
berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan
niscaya
kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an
bahkan
memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi.
al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
“…Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.
al-Qur’an juga
telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana
dalam
al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
“Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat
menjaga dirinya”.
Dari sini dapat
dipahami bahwa betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup
manusia.
Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang
buruk,
yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat
dan
yang membawa madharat.
Dalam sebuah
sabda Nabi saw. dijelaskan:
“Mencari
ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk
mendapatkan
pengetahuan. Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu
pengetahuan.
Islam menekankan
akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa
pengetahuan
niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang
tersesat,
yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di
hari
akhirat.
Imam Syafi’i
pernah menyatakan:
“Barangsiapa
menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan
akhirat,
maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka
harus
dengan ilmu”.
Dari sini, sudah
seyogyanya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu
pengetahuan
dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.
Dalam al-Qur’an
surat Thahaa ayat 114 disebutkan:
“Katakanlah:
‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
Pemerolehan
Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)
Pendidikan Islam
memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan
mengembangkan
pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia
dilahirkan
dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan
kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar:
mula-mula
melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai
jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat
diindra
kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat
difahami.
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme
dalam
filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar
kamu
bersyukur”.[1]
Dengan
pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti
pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan
semua
makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat
al-Jatsiyah ayat 13 disebutkan:
“Dan
dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Namun, pada
dasarnya proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca,
sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah
menciptakan
manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Pemurah (3),
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan
Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari
akar kata
yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan
membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama
itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an
menghendaki
umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi
Rabbik,
dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu;
bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis
maupun
yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana
dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:
“Katakanlah:
‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an
membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam
sekitarnya.
Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh
pengetahuan.
Dalam al-Qur’an
surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:
“Dan
apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami
tumbuhkan di
bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.
Demikianlah,
al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan
adanya
keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun,
pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja.
Pengetahuan
juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana
tertuang dalam
al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:
“Maka
Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak
kamu
lihat (39)”.
Dengan demikian,
objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena,
bahkan ada
wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam
al-Qur’an
surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
“Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana
telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas
apa
yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua
pengetahuan
yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki
pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi
dan ukhrowi, yang dapat menjamin
kemakmuran dan
kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Pengetahuan
duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan
kehidupan
manusia di dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan
klasik. Atau
lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi
adalah
berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan
hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai
pengetahuan
tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi
manusia
dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau
biasa
disebut dengan pengetahuan agama.
Pengetahuan umum
(duniawi) tidak dapat diabaikan begitu
saja, karena
sulit bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui
kehidupan dunia ini yang mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun
harus
mengetahui ilmunya. Demikian halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi),
manusia tanpa pengetahuan agama niscaya kehidupannya akan menjadi hampa
tanpa
tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di
akhirat
menjadi nista.
Islam selalu
mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir
maupun
batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3
disebutkan:
“Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak
melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah
berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
Dalam al-Qur’an
surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:
“Segala
sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.
Dari sini dapat
dipahami bahwa Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan
seimbang,
tidak berat sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia
juga
tercipta dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya,
manusia
diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam
semesta.
Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan
manusia di muka bumi.