Pluralisme ; Berdamai dengan Nurani
Keberagaman suatu komunitas tentu akan berarti jika memancarkan sinar
kedamaian dan menaungi hati nurani dengan rasa aman dalam kebersamaan, menuai
hikmat karena kemajemukan dan mensosialisasikan hakikat demi keutuhan manusia.
Namun, masih banyak di negeri ini konflik yang bersumber dari sentimen
agama sehingga adakalanya sebagian orang merasa terancam karena ia berbeda
agama atau dengan alasan kafir, lantas kepadanya halal dibunuh, diinterogasi
atau diusir dari komunitasnya. Bagaimana kita akan berbicara dalam konteks
pluralisme untuk menjamin kedamaian nurani, ketika pewarisan agama masih
mengandalkan missi “agama pedang.”
Pada dasarnya kalau agama diberikan atribusi kekerasan atau pengkultusan
maka perangai sikap agresif, truth claim, atau negasi tidak produktif justru
akan menciptakan polarisasi agama sektarianisme.
Mewaspadai kecenderungan seperti diatas tidak serta merta memukul rata
bahwa agama identik dengan kekerasan, akan tetapi wacana itu diangkat untuk
membebaskan pemeluknya dari sikap, perilaku, persepsi tersempit atas cara
mereka beragama, lantaran dari pandangan ini kita akan memiliki kebebasan untuk
maju pada segmen pluralisme dalam beragama.
Khahlil Gibran (2001) secara kritis mwngingatkan bahwa, dimensi kejahatan
kadangkala terwujud justru dari mereka yang mewakili sebagian penguasa,
dermawan, biarawan dan orang-orang yang mewarisi tradisi nenek moyang dengan
mengatasnamakan “kebenaran Tuhan” padahal mereka telah berbuat melampaui batas
kehendak Tuhan.
Pada dasarnya beragama berarti berani “berdamai”, ini adalah sikap
spiritual tertinggi yang lahir karena proses pencarian seseorang untuk
menentukan pilihan beragama. Ia lahir dari kesadaran rohani setelah dialektika
internal dan ekternal membuka cara pendang mereka untuk mengambil keputusan
dalam beragama. Hubungan dengan pluralisme adalah transformasi dialektis yang
meliputi beragama secara pribadi dan beragama ecara kelompok. Agar tercapai
sikap pluralis dalam beragama antara lain dengan cara membebaskan terlebih
dahulu hambatan-hambatan psikologi yang melekat dari setiap pemeluk agama. Oleh
karena itu, beragama harus melatih diri untuk bersikap tidak kaku melalui
sarana penyadaran diri secara internal dan sosial sehingga keberagaman manusia
merupakan cara mereka memahami dan menemukan kesadaran ketuhanan sekaligus keadaran kemanusiaan secara
menyeluruh.
Kunci pokok fungsi agama bagi transformasi penyadaran terletak pada
ritualitas yang sifatnya produktif. Artinya, ritual keagamaan harus dirubah
dari semata-mata ibadah konvensional menuju ritual yang bersifat penghayatan
terhadap rasa kesadaran tiga dimensi yaitu kesadaran fisik, psikologis, dan
kesadaran spiritual yang arahnya berwawasan dialektik, berpihak pada
nilai-nilai sosial dengan lebih menyadari akan makna perdamaian dan memahami
perbedaan-perbedaan kemanusiaan.
Setelah situasi psikologis manusia terbebas dari deviasi kepribadian tidak
seimbang, seperti ambiguitas sikap in group dan out group maka untuk melangkah
pada komunikasi dan sosialisasi mengenai sikap dan tindakan beragama dengan
semangat pluralisme telah memiliki fondasi psikologi yang cukup seimbang,
matang dan dewasa sehingga setiap implikasi perbedaan bisa diformulasikan dalam
berbagai tindak perilaku produktif, empatik dan kaya dengan motivasi toleransi.
Artinya keberagamaan harus didekati dengan memperkaya saran dialog untuk
membuka cakrawala berfikir bagi setiap pemeluk untuk mengetahui dunia terluar
dan terdalam, dari semata-mata tidak hanya mengagungkan agama yang dianggapnya
paling benar.
0 komentar:
Posting Komentar