Pluralisme ; Berdamai dengan Nurani

Selasa, 05 Februari 2013



Pluralisme ; Berdamai dengan Nurani

Keberagaman suatu komunitas tentu akan berarti jika memancarkan sinar kedamaian dan menaungi hati nurani dengan rasa aman dalam kebersamaan, menuai hikmat karena kemajemukan dan mensosialisasikan hakikat demi keutuhan manusia.

Namun, masih banyak di negeri ini konflik yang bersumber dari sentimen agama sehingga adakalanya sebagian orang merasa terancam karena ia berbeda agama atau dengan alasan kafir, lantas kepadanya halal dibunuh, diinterogasi atau diusir dari komunitasnya. Bagaimana kita akan berbicara dalam konteks pluralisme untuk menjamin kedamaian nurani, ketika pewarisan agama masih mengandalkan missi  “agama pedang.”

Pada dasarnya kalau agama diberikan atribusi kekerasan atau pengkultusan maka perangai sikap agresif, truth claim, atau negasi tidak produktif justru akan menciptakan polarisasi agama sektarianisme.
Mewaspadai kecenderungan seperti diatas tidak serta merta memukul rata bahwa agama identik dengan kekerasan, akan tetapi wacana itu diangkat untuk membebaskan pemeluknya dari sikap, perilaku, persepsi tersempit atas cara mereka beragama, lantaran dari pandangan ini kita akan memiliki kebebasan untuk maju pada segmen pluralisme dalam beragama.

Khahlil Gibran (2001) secara kritis mwngingatkan bahwa, dimensi kejahatan kadangkala terwujud justru dari mereka yang mewakili sebagian penguasa, dermawan, biarawan dan orang-orang yang mewarisi tradisi nenek moyang dengan mengatasnamakan “kebenaran Tuhan” padahal mereka telah berbuat melampaui batas kehendak Tuhan.

Pada dasarnya beragama berarti berani “berdamai”, ini adalah sikap spiritual tertinggi yang lahir karena proses pencarian seseorang untuk menentukan pilihan beragama. Ia lahir dari kesadaran rohani setelah dialektika internal dan ekternal membuka cara pendang mereka untuk mengambil keputusan dalam beragama. Hubungan dengan pluralisme adalah transformasi dialektis yang meliputi beragama secara pribadi dan beragama ecara kelompok. Agar tercapai sikap pluralis dalam beragama antara lain dengan cara membebaskan terlebih dahulu hambatan-hambatan psikologi yang melekat dari setiap pemeluk agama. Oleh karena itu, beragama harus melatih diri untuk bersikap tidak kaku melalui sarana penyadaran diri secara internal dan sosial sehingga keberagaman manusia merupakan cara mereka memahami dan menemukan kesadaran ketuhanan  sekaligus keadaran kemanusiaan secara menyeluruh.

Kunci pokok fungsi agama bagi transformasi penyadaran terletak pada ritualitas yang sifatnya produktif. Artinya, ritual keagamaan harus dirubah dari semata-mata ibadah konvensional menuju ritual yang bersifat penghayatan terhadap rasa kesadaran tiga dimensi yaitu kesadaran fisik, psikologis, dan kesadaran spiritual yang arahnya berwawasan dialektik, berpihak pada nilai-nilai sosial dengan lebih menyadari akan makna perdamaian dan memahami perbedaan-perbedaan kemanusiaan.

Setelah situasi psikologis manusia terbebas dari deviasi kepribadian tidak seimbang, seperti ambiguitas sikap in group dan out group maka untuk melangkah pada komunikasi dan sosialisasi mengenai sikap dan tindakan beragama dengan semangat pluralisme telah memiliki fondasi psikologi yang cukup seimbang, matang dan dewasa sehingga setiap implikasi perbedaan bisa diformulasikan dalam berbagai tindak perilaku produktif, empatik dan kaya dengan motivasi toleransi. Artinya keberagamaan harus didekati dengan memperkaya saran dialog untuk membuka cakrawala berfikir bagi setiap pemeluk untuk mengetahui dunia terluar dan terdalam, dari semata-mata tidak hanya mengagungkan agama yang dianggapnya paling benar.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages - Menu

Mengenai Saya

Foto saya
Kenalin Teman, namaku Miftahul Khoirul Azizah. . . Aku lahir di Kediri, tepatnya pada tanggal 14 Oktobe 1995. Dan saat ini, aku sedang mengenyam pendidikan di salah satu sekolah favorit di Kotaku. Yakni, Madrasah Aliyah Negeri Kota Kediri 3. Salam kenal ya. . . :)

Blogroll

About

Blogger templates

Blogger news